Share the knowledge!

Ibu Bumi wis maringi, Ibu Bumi dilarani, Ibu Bumi kang ngadili. Lantunan tembang itu dan kalimat syahadat mengalun syahdu berulang-ulang dari bibir warga Kendeng. Bersama mahasiswa dan Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Semarang, mereka berparade mengelilingi Tugu Muda di malam Haul Gus Dur ke-7, Kamis (29/12) .

Sudah hampir dua minggu, warga penolak pabrik Semen Indonesia yang didirikan di Rembang itu melancarkan protes di depan gedung gubernuran Jawa Tengah. Enam hari sebelumnya, tenda perjuangan mereka dibongkar oleh Satpol PP. Mereka tak melawan, tapi juga tak mau pulang ke kampung. Hanya dilindungi payung, mereka terus menunggu kepastian bahwa pemerintah provinsi mau menjalankan putusan Mahkamah Agung untuk menghentikan operasi pabrik semen.

Nasib warga Kendeng ini dan berbagai fenomena terkoyaknya persaudaraan antar umat di Indonesia menjadi bahan refleksi di malam peringatan wafatnya KH Abdurrahman Wahid tahun ketujuh ini. Tertulis mencolok di spanduk hijau yang dibentangkan paling depan: “Peace without justice is an illusion.” Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.

“Sekalipun Gus Dur meninggal tujuh tahun yang lalu, tapi prinsip-prinsipnya tinggal dalam hati kita, melampaui agama dan budaya,” tutur Ubaidillah Ahmad, pengasuh pondok pesantren Darul Ulum Rembang. Gus Ubaid juga mendoakan para pejabat dan orang-orang yang memanfaatkan isu agama untuk memecah belah masyarakat agar mereka disadarkan.   

Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang Romo Aloysius Budi Purnomo secara khusus menyemangati para warga Kendeng. “Pasti Gus Dur memberikan doa restu kepada sedulur-sedulur yang berjuang bukan demi diri sendiri, tapi demi kelestarian alam dan kesejahteraan masa depan bangsa ini,” katanya.

Turut menyampaikan renungan malam itu, sahabat Gus Dur dan pendiri Ein Institute, Tjahjadi Nugroho. Dia mengenang satu percakapannya dengan mendiang presiden ke-4 Republik Indonesia itu. Alkisah Gus Dur menanyainya, “Nug, kamu kan Kristen, kalau Amerika menyerbu Indonesia, kamu bela Amerika atau Indonesia?” Ketika Nugroho tegas menjawab akan membela Indonesia, Gus Dur pun menyahut, “Sama, aku juga, kalau Arab menyerang Indonesia, aku bela Indonesia.”

“Seandainya Gus Dur masih ada, dia pasti tidak akan membiarkan intoleransi terjadi. Tapi Gus Dur sudah tidak ada. Ini ada hikmahnya, yaitu kita semua bisa menjadi Gus Dur. Bersama-sama kita bisa mengubah Indonesia. Mari berjuang supaya ketidakadilan jangan merajalela, karena nasib kita tak akan berubah kalau kita tidak berusaha,” tambah Nugroho lagi.

Rangkaian parade, pembacaan puisi dan penyampaian refleksi dari berbagai elemen lintas golongan ini kemudian ditutup dengan penyalaan lilin dan doa bersama. Seolah alam ikut merestui, hujan pun baru mulai turun rintik-rintik ketika doa berakhir.

 

Editor: Yvonne Sibuea

Facebook Comments

Share the knowledge!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *